WELCOME TO MY BLOG

Welcome to my blog

Selamat datang di blogku. Kalau Anda punya
saran terhadap blog ini, silakan berkomentar di https://ellen-def.blogspot.com/, terima kasih.

Tuesday 14 July 2015

Indikator Kemiskinan

TUGAS MATA KULIAH
EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
(SEMESTER III ILMU EKONOMI, OKTOBERDESEMBER 2014)
Dosen: Dr. IRAWAN, M.Si



SOAL

Jelaskan kaitan otonomi daerah dengan kajian terhadap sistem ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan!



JAWAB

Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian yang besar hampir di semua Negara sekitar tahun 1970-an setelah diadakannya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tanggal 05 Juni 1972 yang dikenal dengan Konferensi Stockholm. Dalam konferensi Stockholm telah disetujui banyak revolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu diantaranya adalah didirikannya bahan khusus dalam PBB yang bertugas mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Envirommental Programme (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya.

Sebelum diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 yang menjadi landasan pelaksanaan UU RI Nomor 22 Tahun 2009 yang diamandemen dengan UU RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah pusat yang berwenang secara mutlak mengelola sumberdaya alam se-Indonesia. Provinsi dan kabupaten/kota tak mempunyai wewenang yang jelas karena semuanya diatur oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pusat masih bersifat sektoral dan tidak holistik, terpecah-pecah, dan ego sektoral masing-masing sektor sangat tinggi.


Pada era otonomi daerah (pascareformasi tahun 1999-2004), telah ada berbagai perubahan kewenangan bidang lingkungan yang terbagi menjadi lebih besar di kabupaten/kota dibandingkan di tingkat nasional dan provinsi. Pemerintah pusat tidak lagi menjadi pelaksana, tetapi sebagai penyusun kebijakan makro dan penetapan berbagai norma, standar, kriteria, dan prosedur dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Kendati wewenang pengelolaan lingkungan hidup paling besar dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, tetapi gejala mengeksploitasi sumberdaya alam masih tetap ada. Ego sektoral dengan cara memandang bahwa pembangunan ekonomi adalah segala-segalanya dan mengabaikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan masih terjadi. Dengan masih dilakukannya eksploitasi sumberdaya alam, bencana alam dan lingkungan terjadi dimana-mana di seluruh Indonesia, misalnya banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Akibatnya, masyarakat benar-benar terpinggirkan dan tak diperhatikan dalam pembangunan selama ini.


Situasi ini diperburuk oleh keadaan dimana departemen hanya mengoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam sesuai visi sektornya masing-masing sehingga terjadi tumpang tindih satu dengan yang lain, tidak ada koordinasi, tidak ada harmonisasi, dan tidak ada koordinasi (Sumber: Dra. Lina Bratasida, MS, Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Prosiding Seminar dan Lokakarya Regional Ornop Riau Mandiri, Smeru, Desember 2003).
Kondisi pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pada era otonomi daerah secara lengkap tersaji pada gambar di bawah ini:




 

Dari diagram di atas, terjadi penurunan fungsi alam dan lingkungan (air tawar, laut, atmosfer, dan lahan/tanah) karena eksplotasi besar-besaran. Permasalahan lingkungan yang timbul berupa menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan, terjadinya penyusunan sumberdaya alam dan lingkungan, permasalahan lingkungan buatan, penerapan standar mutu lingkungan hidup yang masih lemah, masalah pemanfaatan dan pengurasan sumberdaya alam (hutan, tanah, sumberdaya air, keanekaragaman hayati, dan sumberdaya pesisir dan laut), terjadinya bencana alam, serta pencemaran lingkungan. Kondisi di atas menimbulkan konflik sosial dan dan ancaman kearifan lokal karena masyarakat yang semakin terpinggirkan.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan tujuan pembangunan terkait kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Belum optimalnya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia ini disebabkan oleh:

a.  Perangkat hukum dan kebijakan nasional maupun daerah sudah ada, namun kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan, pelaku pembangunan, dan masyarakat masih kurang (implementasinya rendah).

b.  Masih terdapat jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting namun belum memiliki analisa dampak lingkungan (amdal) atau unit pengelolaan lingkungan atau unit pemantauan lingkungan, sementara izin untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut sudah berjalan.

c.   Terdapat kasus orang yang mengimpor limbah dari luar wilayah Indonesia dengan cara yang ilegal.

d.  Adanya kesulitan menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, karena juga tidak mudah untuk menjamin bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan tidak melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan.

e.   Belum semua orang mempergunakan haknya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f.   Tidak semua orang juga memerlukan dan memanfaatkan informasi lingkungan hidup.

g.  Tidak semua orang menyadari haknya untuk berperan dalam menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan serta memberikan saran pendapat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Indonesia harusnya menerapkan 5 (lima) pilar berkelanjutan dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu ekonomi (pertumbuhan), penegakan hukum, ekologi (aman dan lestari), sosial (stabil, harmonis, dan sejahtera), dan kelembagaan lingkungan. Prinsip penting konsep pembangunan berkelanjutan harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat karena pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan tak hanya untuk dinikmati saat ini tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan generasi masa depan.

No comments:

Post a Comment