WELCOME TO MY BLOG

Welcome to my blog

Selamat datang di blogku. Kalau Anda punya
saran terhadap blog ini, silakan berkomentar di https://ellen-def.blogspot.com/, terima kasih.

Saturday 9 March 2019

Yogyakarta, Kota yang Menjunjung Tinggi Tradisi

Perjalanan kali ini adalah ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada bulan Februari 2019.
Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya
DIY ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai provinsi istimewa disebabkan sejarah kesultanannya yang hingga kini masih memegang teguh budaya keraton. Dengan penetapan keistimewaannya, kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) Provinsi DIY dari masa ke masa dipimpin oleh keturunan keluarga dari Kesultanan Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur.
Bersumber dari Wikipedia Indonesia pada https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta, Provinsi DIY merupakan peleburan dari Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota (Yogyakarta) dan empat kabupaten (Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Sleman), yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan.
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menimbulkan penyingkatan nomenklatur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa Yogyakarta sering dihubungkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat sering disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walau secara geografis merupakan daerah setingkat provinsi terkecil kedua setelah DKI Jakarta, daerah istimewa ini terkenal di tingkat nasional, dan internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa bencana alam besar termasuk bencana gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006, erupsi Gunung Merapi selama Oktober-November 2010, serta erupsi Gunung Kelud, Jawa Timur pada tanggal 13 Februari 2014.
Demikian pengenalan singkat tentang Provinsi DIY :)
Saya beserta beberapa teman mengunjungi beberapa lokasi wisata di Provinsi DIY dan menyeberang sebentar ke Provinsi Jawa Tengah. Lokasi wisata yang kami kunjungi di Provinsi DIY adalah Keraton Yogyakarta (Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat), Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, Gumuk Pasir Barchan, Candi Prambanan, dan Obyek Wisata Kawasan Kaliadem. Lokasi wisata yang kami kunjungi di Provinsi Jawa Tengah adalah Candi Borobudur dan Candi Mendut.
Hari pertama kami habiskan dengan penerbangan transit karena saat ini tidak ada penerbangan langsung dari daerah kami menuju Yogyakarta.
Kami menginap di suatu hotel di Jalan Malioboro, kawasan yang terkenal dengan geliat ekonominya seperti adanya pedagang baik di toko maupun kaki lima, warung lesehan di malam hari, dan tempat berkumpulnya seniman yang mengekspresikan kemampuan mereka dalam seni. Karena itu, kami tidak akan kesulitan untuk mencari makanan, minuman, dan oleh-oleh khas Yogyakarta. 
Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta
Beberapa menit setibanya di Bandara Adi Sutjipto pada sore hari dan menuju hotel menggunakan mobil yang kami pesan di bandara dengan biaya antar sebesar Rp. 200 ribu, kami disambut dengan hujan. Hujan tersebut berlangsung hingga pukul 19.00 WIB atau 7 malam, sehingga kami baru keluar ke kawasan Maliboro pada jam tersebut. Kawasan ini begitu hidup karena semakin malam semakin banyak pengunjung yang datang. Untuk pengunjung yang ingin beristirahat sejenak telah disediakan bangku-bangku di sepanjang jalan. Kami sempat menyaksikan pertunjukan tari modern dari seniman di Malioboro dan makan malam di sebuah warung lesehan di Kawasan Wisata Dagen dengan salah satu menunya burung merpati goreng.
Makanan di kawasan Malioboro dan daerah lainnya di DIY

Beberapa nama jalan di kawasan Malioboro

1. Pasar Beringharjo dan Keraton Yogyakarta
Pasar Beringharjo
Hari kedua, setelah sarapan pagi di hotel, kami menuju pasar yang terkenal dengan penjualan batik khas Yogyakarta di Kawasan Malioboro, yaitu Pasar Beringharjo. Saya dan teman-teman membeli beberapa pakaian batik di situ sebagai oleh-oleh.
Setelah beristirahat sejenak, kami mulai menuju lokasi wisata menjelang siang hari, dengan start awal Keraton Yogyakarta. Karena kali ini tidak menggunakan jasa tur dan travel alias wisata mandiri, kami mencoba menggunakan bentor (becak motor) untuk membawa kami ke keraton dengan biaya Rp. 20 ribu sekali berangkat. 
Regol Brojonolo
Tiket masuk Keraton Yogyakarta pada bulan Februari 2019 adalah Rp.5 ribu per orang dewasa, dan Rp 2 ribu per orang untuk alat elektronik (telepon selular berkamera, kamera, video kamera) yang digunakan untuk mengabadikan suasana keraton. Tas kami sebelumnya diperiksa sebagai bagian dari standar operasional prosedur (SOP) di lokasi wisata ini. Keraton buka setiap hari pukul 08.00-14.00 WIB, kecuali hari Jumat pukul 08.00-12.00 WIB.
Terdapat beberapa bangunan di dalam keraton yang menggambarkan tradisi kesultanan, seperti Bangsal Pagelaran (bangunan utama keraton), Bangsal Pemandengan (tempat prajurit berlatih), Bangsal Pengapit atau Bangsal Pasewakan (museum busana adat keraton, sebelumnya tempat para senopati menerima perintah dari dan melapor kepada Sri Sultan), Bangsal Pengrawit (tempat Sri Sultan melantik seorang patih), Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bangsal Agung Sitihinggil dan Bangsal Mangunturtangkil (singgasana sultan dan tempat sultan dinobatkan), Bangsal Kori (tempat berjaga abdi dalem kori), Bangsal Witono (tempat pusaka utama keraton), Balebang dan Bale Angun-Angun (tempat penyimpanan gamelan pusaka dan pusaka keraton), dan Regol Brojonolo (tembok tebal dan tinggi).
Keraton Yogyakarta
Kami juga sempat diantar petugas yang berjaga di Keraton Yogyakarta ke lokasi lukis dan membatik serta tempat penjualan produk-produk Dagadu yang merupakan merek dagang khas Yogyakarta.
Tempat seni lukis dan batik yang merupakan bagian dari obyek wisata Keraton Yogayakarta

2. Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, dan Gumuk Pasir Barchan
Setelah mengunjungi keraton, kami kembali ke hotel untuk berganti pakaian karena kami ingin ke pantai, yaitu Pantai Parangtritis dan Pantai Parangkusumo. Kami menggunakan jasa andong (kereta yang ditarik kuda) dengan biaya sebesar Rp. 50 ribu. Andong, becak, dan bentor banyak terdapat di Yogyakarta dan menjadi salah satu daya tarik wisata di daerah ini. 
Andong sebagai alat angkut yang menarik wisatawan
Kami memesan dengan pihak hotel untuk mengantarkan kami ke pantai tersebut dengan biaya sebesar Rp. 350 ribu selama enam jam. Jarak antara hotel tempat kami menginap dengan Pantai Parangtritis yang berlokasi di Kabupaten Bantul menurut Global Positoning System (GPS) adalah sekitar 29 kilometer (km) yang ditempuh dengan waktu sekitar 59 menit. 
Tiket masuk kawasan Pantai Parangtritis per orang sebesar Rp. 6.750,- dan parkir kendaraan roda empat Rp. 3 ribu. Pantai ini buka selama 24 jam, namun untuk beberapa fasilitas yang dilakukan warga setempat seperti motor ATV dan andong hanya sampai pukul 17.00 WIB.
Apabila ingin foto-foto menggunakan fasilitas yang dibuat warga setempat di kawasan Pantai Parangtritis, biayanya Rp. 5 ribu per spot foto. Jika ingin difoto dan dicetak langsung di lokasi pantai, maka biayanya bervariasi tergantung ukuran foto. Kami mengambil ukuran 8R dengan biaya foto+cetak Rp. 20 ribu untuk latar belakang karang Pantai Parangtritis, saya saat itu sekaligus meminta file foto tersebut kepada sang fotografer.
Pantai Parangtritis

Pantai Parangtritis
Pengunjung yang ingin merasakan berkendaraan di kawasan pantai dapat menyewa motor ATV dengan biaya Rp. 50 ribu untuk satu jam. Selain itu, pengunjung juga berkesempatan menyewa andong dengan biaya Rp. 50 ribu untuk menuju karang Pantai Parangtritis dan tambahan biaya lagi sebesar Rp. 50 ribu untuk menuju Pantai Parangkusumo yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Pantai Parangtritis. Berhubung waktu kami terbatas, kami menyewa andong untuk menuju karang Pantai Parangtritis dan Pantai Parangkusumo.
Pantai Parangkusumo

Andong yang disewakan di pantai

Hal-hal mistis tidak lepas dari pantai-pantai ini yang sering dikaitkan dengan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Kami sempat menyaksikan satu keluarga yang terdiri dari dua orang dewasa, satu orang remaja, dan satu orang anak kecil sedang duduk diam dan menutup mata seperti bertapa di kawasan Pantai Parangkusumo, dan ada beberapa pengunjung lainnya yang menabur bunga.
Setelah mengunjungi Pantai Parangtritis dan Pantai Parangkusumo, kami menyempatkan diri berhenti sebentar di Gumuk Pasir Barchan. Kami tidak bisa lama di lokasi ini karena gerimis, padahal tempat ini merupakan area bermain sandboarding (meluncur di pasir menggunakan papan seluncur).
Gumuk Pasir Barchan

Bersumber dari https://travel.kompas.com/read/2016/10/24/150800327/gumuk.pasir.barchan.dan.parangkusumo.apa.bedanya., gumuk berasal dari bahasa Jawa yang artinya bukit kecil. Gumuk pasir tersebut merupakan satu-satunya di Asia Tenggara, proses pembentukannya dipengaruhi angin sehingga pasir tertumpuk dalam jumlah besar. Tumpukan pasir ini berasal dari hasil erupsi Gunung Merapi yang endapannya dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di Pantai Selatan.
Hujan mulai deras sehingga kami memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat. Kami tiba di hotel sekitar pukul 18.00 WIB dan 1,5 jam kemudian keluar untuk makan dan jalan-jalan sebentar di kawasan Malioboro setelah hujan berhenti.

3. Tugu Pal Putih Yogyakarta/Tugu Golong Gilig dan Stasiun Yogyakarta
Jalan-jalan malam hari kedua di Kawasan Malioboro yang kami lakukan bertujuan untuk melihat secara dekat Tugu Pal Putih Yogyakarta yang menjadi landmark (tengara/tanda tanah/markah tanah/mercu tanda) Yogyakarta. Tugu ini merupakan simbol persatuan antara rakyat dan raja/sultan Yogyakarta. Nama asli tugu ini adalah Tugu Golong Gilig bersumber dari https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/11/tugu-golong-gilig-simbol-persatuan-raja-dan-rakyat, namun sampai saat ini banyak yang menyebutnya Tugu Pal Putih karena tiangnya yang berwarna putih. Golong artinya silinder, giling berarti bulatan.
Karena ingin menikmati suasana kawasan Malioboro yang ramai, kami berjalan kaki menuju tugu. Kami pikir jaraknya cukup dekat, namun rupanya dengan jarak sekitar 1,4 km dari hotel mampu kami tempuh sekitar 20 menit, cape juga, ha ha ha.....
Karena waktu tempuh yang cukup lama, kami berhenti sebentar di sebuah tempat yang bertuliskan Stasiun Yogyakarta. Rupanya terdapat jalur kereta api di dekat kawasan yang padat pengunjung tersebut. Untuk memudahkan pejalan kaki, sepeda, dan becak melintas, terdapat palang perlintasan beroda yang memisahkan Jalan Mangkubumi dengan Jalan Malioboro. Motor atau becak motor yang ingin melintas wajib mematikan mesin kendaraan jika tidak ingin ditilang oleh petugas Pos Jaga Lintasan (PJL). Setelah beristirahat sekitar lima menit, kami melanjutkan jalan kaki ke tugu.
Beberapa tempat di kawasan Malioboro
Tugu Golong Giling/Pal Putih Yogyakarta
Sesampainya di dekat tugu, kami perlu menunggu pengemudi kendaraan bermotor melintas terlebih dahulu. Hal ini disebabkan adanya lampu lalu lintas empat arah di kawasan tugu yang membentuk bundaran. Untuk sekadar foto-foto pun kami harus mengantre dan menunggu kendaraan yang arahnya telah dinyatakan jalan dengan lampu hijau untuk melintas. Rasanya kami dan pengunjung lainnya yang foto-foto cukup mengganggu arus lalu lintas saat itu, he he he. Akan tetapi, hal tersebut mungkin sudah biasa bagi warga setempat karena banyaknya pengunjung dari daerah lain di kawasan Malioboro.
Dekat Tugu Yogya terdapat sebuah tempat yang menjadi miniatur tugu dengan tulisan Tugu Golong Gilig. Miniatur tugu dibuat menyerupai desain awal, yaitu berbentuk silinder dengan puncak bulat.
Berhubung kaki sudah sakit karena sudah keluar sejak pagi, kami memutuskan untuk menggunakan bentor yang ada di dekat tugu. Biayanya Rp. 20 ribu per bentor. Hari kedua perjalanan kami selesai dan kami perlu istirahat dulu sebelum melanjutkan wisata.




4. Candi Borobudur
Hari ketiga adalah hari tersibuk untuk perjalanan wisata karena kami mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Saya sebelumnya telah menelepon jasa tur dan travel untuk sewa mobil+sopir+BBM selama 12 jam dengan biaya sebesar Rp. 500 ribu. Kami dijemput di hotel pada pukul 08.00 WIB dan memulai perjalanan dengan tujuan pertama ke Candi Borobudur yang berlokasi di Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Bersumber dari https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur, Candi Borobudur terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Topi Bertuliskan Borobudur
Kami tiba di Candi Borobudur pukul 09.04 WIB dan terlebih dahulu membeli topi bertuliskan Borobudur di dekat parkir kendaraan bermotor. Ini disebabkan cuacanya begitu panas meskipun baru pukul 09.00 WIB lebih. Meskipun saya sudah menggunakan jaket yang ada penutup kepalanya (hoodie), namun topi sepertinya lebih efektif karena saya membeli yang bentuknya lebar dan ada talinya. Kedua teman saya juga membeli topi yang sama seharga Rp. 35 ribu, sedangkan satu orang teman tidak membeli karena sudah membawa topi.
Kami berjalan beberapa meter menuju loket untuk membeli tiket masuk. Kami bukan membeli tiket terusan (Borobudur-Prambanan atau Borobudur-Ratu Boko) karena sudah menyewa mobil. Kami membeli tiket hanya untuk masuk ke Candi Borobudur sebesar Rp. 40 ribu per orang dewasa. Jam buka candi setiap harinya adalah pukul 06.00-17.00 WIB. Biaya parkir untuk mobil sebesar Rp. 15 ribu. Tidak ada biaya yang dibebankan bagi pengunjung yang ingin ke toilet yang ada di sekitar kawasan candi.
Setelah membeli tiket, kami memasuki tempat pemeriksaan tas dan melewati pintu deteksi sebagai bagian dari SOP kawasan candi. Karena jarak pintu masuk dan Candi Borobudur cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, maka kami menggunakan kendaraan dengan sebutan Sutle Bus dengan biaya Rp. 15 ribu per orang dalam satu kali putaran. 
Untuk melindungi candi yang merupakan situs berharga dan pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia serta untuk memastikan keselamatan pengunjung, pemerintah setempat meminta pengunjung untuk mematuhi beberapa peringatan yang ditulis di lempengan aluminium berbentuk peregi panjang, antara lain dilarang duduk dan berdiri di stupa dan pagar langkan, dilarang membawa makanan dan minuman, dilarang memanjat, dilarang membawa binatang, membuang sampah pada tempatnya, dilarang corat-coret, dilarang merokok, dan dilarang memindahkan susunan batu.
Petunjuk larangan di Candi Borobudur

Banyak pengunjung dari berbagai daerah dan negara datang ke Candi Borobudur. Kebanyakan yang dilakukan oleh pengunjung adalah berfoto untuk mengabadikan kedatangannya ke candi.
Apabila ditelusuri, bentuk dan warna asli candi sepertinya masih dipertahankan oleh pemerintah meskipun terjadi beberapa kali pemugaran sehingga keindahannya masih terjaga kendati masih ada beberapa kepala patung yang rusak atau hilang. Teriknya matahari tidak menyurutkan langkah pengunjung untuk berkeliling di candi untuk menemukan tempat yang strategis untuk foto-foto.
Beberapa spot foto di Candi Borobudur

Satu jam lebih kami di sini. Setelah turun dari candi dan berjalan beberapa meter, kami menggunakan andong yang ada di kawasan candi untuk keluar dengan biaya Rp. 100 ribu. Jalur keluar untuk andong berbeda dengan Sutle Bus yang memang digunakan untuk memutari area dalam Candi Borobudur. Kami keluar ke jalan dan diantar ke pintu satu Candi Borobudur dan menunggu mobil jemputan yang akan membawa kami menuju Candi Mendut yang lokasinya berdekatan dengan Candi Borobudur.
 
5. Candi Mendut
Kami tiba di Candi Mendut sekitar 15 menit yang berlokasi di Jalan Badrawati Borobudur, Magelang. Menurut GPS, jarak antara Candi Borobudur dan Candi Mendut adalah 4 km. Berdasarkan informasi plang yang dipasang di dekat loket, Candi Mendut termasuk dalam kawasan Candi Borobudur sebagai World Herritage Culture atau Warisan Budaya Dunia nomor 592 yang dilindungi dari bahaya perang.
Plang infornasi tentang Candi Mendut

Tiket masuk Candi Mendut sebesar Rp. 3.500 per orang dan biaya parkir mobil Rp. 5 ribu. Candi dibuka setiap hari pukul 06.00-17.30 WIB. Toilet di kawasan candi merupakan kediaman warga yang berjualan di sekitar candi dengan biaya antara Rp. 2 ribu (buang air kecil) hingga Rp. 3 ribu (buang air besar).

Beberapa ketentuan yang harus dipatuhi pengunjung ke tempat ini berdasarkan penjelasan di plang pintu masuk adalah tidak dibenarkan untuk: merokok di area candi, memanjat dinding candi, memindahkan batu candi, corat-coret batu candi, membuang sampah sembarangan, dan melakukan kegiatan pemanfaatan tanpa seizin Balai Konservasi Borobudur. Di tempat ini tidak ada pemeriksaan tas atau barang bawaan.
Arca Buddha di Candi Mendut
Candi Mendut
Selain kami, hanya ada beberapa pengunjung yang mendatangi Candi Mendut saat itu. Hal ini membuat kami bisa lebih leluasa mengabadikan apa saja yang ada di candi dan areanya. Di dalam Candi Mendut terdapat tiga arca Buddha berukuran besar. Dicuplik dari https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Mendut, ketiga arca Buddha itu disebut Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi.

Candi Mendut
Masih di kawasan Candi Mendut terdapat sebuah pohon beringin berukuran raksasa dan akar gantungnya sangat banyak menjuntai. Kemungkinan pohon beringin ini telah berusia puluhan hingga ratusan tahun apabila dilihat dari ukuran dan akar gantungnya.
Area di sekitar Candi Mendut

Untuk menghilangkan penat, kami memesan makanan dan minuman pada pedagang yang berjualan di sekitar candi. Kami memesan kelapa utuh (Rp. 8 ribu), es cendol (Rp. 7 ribu), bakso dan mie ayam (masing-masing Rp. 12 ribu), serta cilok (Rp. 5 ratus per biji).
Hari beranjak siang dan kami meneruskan perjalanan ke Obyek Wisata Kawasan Kaliadem. Artinya, kami kembali ke Provinsi DIY.

6. Obyek Wisata Kawasan Kaliadem
=> Museum Erupsi Merapi
Jarak antara Candi Mendut ke Kawasan Kaliadem sekitar 41 km yang kami tempuh dalam waktu 1 jam 15 menit. Di pintu masuk obyek wisata, kami membayar tiket masuk sebesar Rp. 3 ribu per orang dan tarif parkir mobil Rp. 4 ribu. Obyek wisata Kaliadem buka hari senin-jumat pukul 06.00-17.00 WIB.
Mobil penumpang yang kami sewa hanya bisa masuk hingga ke tempat penyewaan mobil jeep yang dikelola warga setempat. Ini disebabkan kondisi jalan menuju kawasan Kaliadem yang berbatu karena merupakan bagian dari Taman Nasional (TN) Gunung Merapi.
Hujan menyambut kami ketika memasuki Kaliadem. Kami hampir tidak jadi mencoba wisata menggunakan jeep, namun karena kesepakatan bersama kami tetap mencobanya. Kami menunggu beberapa saat menunggu hujan berhenti sembari membeli salak pondoh yang baru dipetik warga setempat. Satu kilogram salak pondoh dijual Rp. 15 ribu. Kami membeli dua kg sebagai bekal naik ke atas kawasan TN Gunung Merapi selain makanan ringan lainnya yang sebelumnya telah kami bawa. Penjual salak tersebut cukup berbaik hati kepada kami dengan menambahkan beberapa buah salak.
Berhubung waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB dan masih ada tempat wisata lain yang akan kami kunjungi, kami memutuskan untuk mengambil paket short dengan biaya  Rp. 350 ribu. Untuk paket ini kami menuju tiga lokasi, yaitu Museum Erupsi Merapi, Batu Alien, dan Bunker Kaliadem. Sebetulnya ada pilihan antara Bunker Kaliadem atau Petilasan Mbah Maridjan, tetapi kami memilih untuk mengunjungi Bunker Kaliadem. Hujan telah berhenti dan kami siap berangkat.
Galeri Merapi atau Museum Erupsi Merapi
Sekilas informasi tentang kawasan Kaliadem, dicuplik dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kaliadem, Kaliadem adalah suatu kawasan hutan pinus seluas 25 hektare dengan ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, di lereng selatan Gunung Merapi. Kaliadem berada dalam wilayah administratif Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, Indonesia, sekitar 25-30 km utara Kota Yogyakarta. Kawasan ini memiliki udara sejuk dan memiliki banyak keindahan dan keunikan alam. Keberadaan Gunung Merapi dengan fenomena vulkaniknya, morfologi gunung dan lembahnya, hutan alam dengan keanekaragaman flora dan fauna serta kondisi sosial budaya yang unik merupakan potensi yang sangat besar untuk kegiatan wisata alam (ekowisata).
Saat kedatangan kami, udara di Kaliadem cukup panas karena Gunung Merapi sedang mengeluarkan semburan hawa panas meskipun hujan beberapa kali terjadi. Berdasarkan informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral pada cuitannya di twitter tertanggal 22 Februari 2019 yang diunggah beberapa kali, terjadi beberapa kali gempa guguran dengan status waspada, seperti pada https://twitter.com/BPPTKG/status/1098910455152619520 yang berbunyi "Laporan pengamatan guguran Gunung #Merapi tanggal 22/02/2019 periode 12.00-18.00 WIB. Berdasarkan data seismik, terekam 1 kali gempa guguran dengan durasi 36.5 detik. #statuswaspada" dan https://twitter.com/BPPTKG/status/1098904691528720384  yang berbunyi "Via PGM.Jrakah visual tampak, suhu udara 20.0 °C, kelembaban 90 %rh, kec angin 4 km/jam ke timur, tekanan udara 859.3 hpa. Gerimis jam 15.00 -17.00 = 2 mm. #statuswaspada".
Gunung Merapi dari kejauhan seperti dikelilingi awan putih. Semakin sore, awan putih tersebut semakin tebal dan menutupi gunung.

Burung Hantu di Galeri Merapi
Sekitar 15 menit setelah keberangkatan, hujan kembali turun, dan berhenti setelah kami tiba di Museum Erupsi Merapi. Terdapat beberapa kerangka hewan korban erupsi Gunung Merapi, rangka sepeda motor yang hangus, peralatan rumah tangga yang rusak, bebatuan hasil erupsi, dan foto-foto yang dibingkai yang menceritakan tentang bencana akibat letusan Gunung Merapi tahun 2006 dan tahun 2010. Museum Erupsi Merapi ini sebelumnya merupakan rumah kepala desa setempat. Seekor burung hantu milik warga setempat ada di pintu keluar Museum Erupsi Merapi. Saya menyempatkan diri berfoto dengan burung tersebut.
Puing sisa erupsi merapi tahun 2006 dan tahun 2010 di Museum Erupsi Merapi

Pengemudi jeep sekaligus yang menjadi pemandu kami menjelaskan satu-persatu arti foto yang dibingkai. Setelah berfoto dan mengabadikan tragedi Merapi melalui video, kami menuju kawasan Batu Alien yang berjarak 14 km dari Gunung Merapi.

 => Batu Alien
Di lokasi ini kami melihat sebuah batu besar menyerupai wajah manusia pada salah satu sisinya, sedangkan sisi lainnya tidak. Pemandu kami menjelaskan bahwa batu tersebut awalnya tidak ada di situ. Ketika erupsi Merapi tahun 2010, bongkahan vulkanik berukuran sekitar dua meter terbawa lahar dan berhenti di kawasan tersebut. Seorang warga menemukannya. Karena bentuknya menyerupai wajah, maka warga setempat menamakannya Batu Alien.
Keindahan Gunung Merapi dari kawasan Batu Alien dapat terlihat. Dari jauh, warnanya hijau karena banyaknya tanaman dan pepohonan di sekitar gunung. Lokasi ini sangat bagus untuk dijadikan tempat foto dan video.
Batu Alien dengan latar belakang Gunung Merapi
Foto di kawasan Batu Alien dengan latar belakang Gunung Merapi

Gunung Merapi dilihat dari kawasan Batu Alien
 => Bunker Kaliadem
Kami selanjutnya menuju Bunker Kaliadem. Perjalanan yang awalnya cukup mulus dengan jalan beraspal kemudian berubah menjadi jalan berbatu. Di kawasan tersebut banyak truk yang keluar masuk membawa batu. Menurut pemandu kami, pengambilan batu di kawasan TN Gunung Merapi telah mendapatkan izin dari pemerintah dengan syarat lokasi yang telah ditetapkan di lereng gunung. 
Setelah merasakan guncangan akibat jalan berbatu selama perjalanan, kami tiba di kawasan Bunker Kaliadem yang berjarak sekitar 5 km dari Gunung Merapi. Dekat bunker terdapat deretan warung tempat warga setempat menjajakan makanan dan minuman serta suvenir khas Gunung Merapi. Video amatir tentang Bunker Kaliadem dan kawasan di sekitarnya dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=Vm7209WWlz4&t=12s.
Berdasarkan penjelasan dari pemandu kami, sebelumnya kawasan Bunker Kaliadem bukan merupakan tempat wisata, tetapi menjadi lokasi kemah (camping), outbound, dan pendakian. 
Bunker Kaliadem
Penjelasan lanjutan, Bunker Kaliadem berukuran 8x6 meter dibangun oleh pemerintah dengan tujuan melindungi warga setempat yang tidak sempat turun dari kawasan gunung dari awan panas yang dikeluarkan oleh Gunung Merapi. Namun, bunker tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena pada tahun 2006 terjadi letusan yang  menyemburkan awan panas dengan suhu di atas 500 derajat celcius. Dua orang relawan yang berlindung di dalam bunker tidak mampu bertahan hidup karena suhu yang sangat panas. Satu orang meninggal dunia di dalam bunker dengan kondisi jenazah terbakar hingga dalam organ tubuh, sedangkan satu orang yang sempat berendam di bak mandi mengalami luka bakar dengan keparahan tidak seperti rekannya dan meninggal diduga karena kehabisan oksigen.
Pada tahun 2010 kembali terjadi letusan dan menewaskan ratusan warga. Bunker Kaliadem tertutup oleh material vulkanik setebal empat meter selama tiga tahun. Saat ini, Bunker Kaliadem telah dijadikan obyek wisata yang menunjukkan keindahan sekaligus keganasan Gunung Merapi.
Penasaran dengan isi di dalam bunker, saya masuk sendiri karena teman-teman tidak ada yang mau masuk. Hal ini dikarenakan dari luar bunker terlihat menyeramkan karena gelap. Air juga terlihat membasahi ruangan karena pintu bunker tidak lagi ditutup karena kondisinya sudah rusak.
Suasana di luar dan di dalam Bunker Kaliadem
Saya sebenarnya sudah bersiap untuk mengabadikan kondisi dalam ruangan dengan lampu blitz video kamera ponsel menyala, tetapi rupanya terdapat lampu sensor sebanyak tiga buah lampu yang menyala otomatis saat masuk ke dalam ruangan. Lampu tersebut ada di kamar mandi, kamar lain yang sebelumnya merupakan tempat penyimpanan peralatan dan obat P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan), dan ruang utama bunker. Ketiga lampu ini cukup membantu saya untuk melihat kondisi bunker meskipun lampu di ruang utama bunker tidak cukup terang untuk seluruh ruangan yang cukup luas.
Di tengah ruang utama terdapat batu pipih berukuran besar dan beberapa pecahan batu lainnya di sepanjang batu tersebut. Sepertinya batu ini disisakan sebagai bagian dari kenangan terjadinya erupsi Merapi tahun 2006 dan tahun 2010.
Setelah keluar dari bunker, saya berjalan kaki lebih ke atas untuk mengabadikan tulisan Bunker Kaliadem, sementara teman-teman saya turun ke deretan warung untuk mengisi perut. Awalnya hanya itu tujuan saya, mengabadikan tulisan Bunker Kaliadem. Tapi, saya baru mengetahui kalau masih ada jalan yang berjarak beberapa meter mendekati Gunung Merapi sehingga saya menyusurinya.
Gunung Merapi dilihat dari area Bunker Kaliadem
Keindahan kawasan Gunung Merapi terlihat di sini, karena di sepanjang kiri dan kanan yang terlihat adalah vegetasi kawasan gunung. Di depan saya juga terdapat barisan bukit-bukit yang menambah keindahan TN Gunung Merapi. Cukup lelah juga menyusurinya karena jalannya mendaki. Di sini saya bertemu dengan beberapa pengunjung yang ditemani oleh pemandu mereka. Saya berhenti tepat di plang yang bertuliskan "area batas pengunjung" dan kembali mengabadikan Gunung Merapi dan sekitarnya. Saya kemudian kembali ke bawah dan mendatangi teman-teman untuk melanjutkan perjalanan ke Candi Prambanan.

7. Candi Prambanan
Kami tiba di area penyewaan mobil jeep sekitar pukul 15.00 WIB dan melanjutkan perjalanan ke Candi Prambanan. Dicuplik dari Wikipedia pada https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Prambanan, kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman, Provinsi DIY dan Kecamatan Prambanan, Klaten, Provinsi Jawa Tengah, sekitar 17 km timur laut Yogyakarta, 50 km barat daya Surakarta dan 120 km selatan Semarang, persis di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY.

Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang (Hanacaraka: Candhi Prambanan) adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan. 
Kami tiba sekitar 30 menit kemudian. Sama seperti di Candi Borobudur, tiket masuk Candi Prambanan adalah Rp. 40 ribu per orang dan biaya parkir mobil Rp. 15 ribu. Prosedur keamanannya juga sama, adanya pemeriksaan tas untuk memastikan kami tidak membawa benda-benda yang tidak diperbolehkan yang ditakutkan akan merusak kelestarian candi dan melewati sensor deteksi. Namun, sama seperti di Candi Borobudur, peralatan foto dan video tetap diperbolehkan untuk mengabadikan kunjungan kami.
Kami tidak menggunakan jasa kendaraan di sini karena tujuan utama kami hanya ingin ke Candi Prambanan meski banyak candi lainnya di kawasan tersebut karena waktu semakin sore.
Sesampainya di depan candi, saya langsung mengagumi keindahannya karena terdapat beberapa candi yang berdiri dengan megahnya, meskipun ada beberapa reruntuhan candi akibat gempa Yogya.
Masih bersumber dari Wikipedia, bangunan candi-candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Pemugaran kembali Candi Prambanan dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai pada tahun 1930-an dan terus-menerus dilakukan hingga saat ini.
Saya sempat masuk ke dalam salah satu ruangan candi dan mengambil foto sebuah patung dalam kondisi ruangan sangat gelap. Setelah saya perhatikan, patung yang saya foto tersebut adalah Siwa Mahadewa.
Arca Siwa Mahadewa dan Candi Kelir
Setelah mengitari candi, kami pun keluar. Pintu masuk dan pintu keluar Candi Prambanan berbeda. Hal ini dikarenakan masih banyak obyek wisata lainnya di kawasan candi yang dapat dilihat, misalnya beberapa jenis hewan seperti kambing hias mini, burung kasuari, dan kijang.
Kambing hias mini dan Burung Kasuari di kawasan Candi Prambanan
Kami keluar dari kawasan Candi Prambanan sekitar pukul 16.45 WIB dan akan menuju lokasi wisata terakhir yang kami rencanakan untuk didatangi, yaitu Tebing Breksi.

8. Tebing Breksi
Hujan kembali turun sepanjang perjalanan kami menuju Tebing Breksi yang berlokasi di di sebelah selatan Candi Prambanan, dan berdekatan dengan Candi Ijo serta Kompleks Keraton Boko. Lokasi Wisata Tebing Breksi berada di Sambirejo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hujannya sangat deras sehingga kami tidak bisa turun dari mobil. Akhirnya kami hanya mengambil foto tulisan Tebing Breksi tanpa bisa menyaksikan keindahan tebing yang sebelumnya merupakan tempat penambangan batu alam oleh masyarakat setempat.
Tebing Breksi dari samping depan
Bersumber dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tebing_Breksi, potensi wisata alam Tebing Breksi menawarkan banyak hal yang tidak boleh dilewatkan, diantaranya adalah pemandangan dinding tebing dengan ornamen patahan yang terlihat begitu artistik. Sebab, pada dasarnya tebing ini memang sudah terbentuk jutaan tahun yang lalu dan dijadikan sebagai tempat penambangan. Walaupun saat ini sudah tidak lagi dijadikan sebagai tempat penambangan, tapi sisa-sisa dari aktivitas penambangan tersebut mampu menghadirkan ornamen pahatan yang membuat tebing tersebut tampak seperti kue lapis.
Karena hujan tidak berhenti juga, kami memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat.

Hari keempat adalah hari kembalinya kami ke daerah kami. Yogyakarta memang merupakan kota dengan warga yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan budaya. Warganya sangat menghormati sultan yang menjadi kepala daerah mereka dan tetap mempertahankan sejumlah tradisi, antara lain dengan menghargai kelestarian alam dan lingkungan serta menjunjung tinggi adat dan budaya.
Happy traveling.... :)