WELCOME TO MY BLOG

Welcome to my blog

Selamat datang di blogku. Kalau Anda punya
saran terhadap blog ini, silakan berkomentar di https://ellen-def.blogspot.com/, terima kasih.

Monday 15 September 2014

Analisis Empiris Suku Bunga, Uang Beredar, serta Nilai Tukar dan Inflasi Tahun 2013


TUGAS MATA KULIAH
ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

(SEMESTER II ILMU EKONOMI, APRIL 2014)
Dosen: Dr. Miar P. Bakar, M.Si

Soal:
1. Analisis empiris suku bunga sebagai instrumen Bank Indonesia
2. Analisis empiris uang beredar di Indonesia tahun 2013
3. Analisis empiris nilai tukar dan inflasi
 

Jawab:
1. ANALISIS EMPIRIS SUKU BUNGA SEBAGAI INSTRUMEN BANK INDONESIA
Perbankan merupakan lembaga yang vital dalam mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu negara. Melalui fungsi intermediasinya, perbankan mampu menghimpun dana dari pihak yang berkelebihan dana dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan pendanaan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif di sektor riil.
Bank Indonesia (BI) Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk m8encapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Salah satu aspek yang dinilai penting dalam kegiatan intermediasi adalah tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga dipandang sebagai indikator dalam mempengaruhi keputusan masyarakat dalam membelanjakan ataupun menabungkan uangnya dan juga mempengaruhi keputusan dunia usaha dalam melakukan pinjaman untuk berbagai kepentingan seperti investasi.
Berdasarkan Laporan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter, dan Keuangan) Bank Indonesia Triwulan IV 2013 (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Documents/LKM%20Triwulan%20IV%202013.pdf, dicuplik tanggal 28 Maret 2014), Bank Indonesia pada 13 Februari 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75% setelah mengevaluasi perkembangan terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan.
Pada kebijakan suku bunga, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter lebih ketat dengan menaikkan suku bunga BI Rate. Secara kumulatif, BI Rate pada tahun 2013 meningkat 175 bps sehingga menjadi 7,50% pada Desember 2013. Pada November 2013, BI Rate meningkat 25 bps menjadi 7,50% dibandingkan dengan September 2013 guna memastikan inflasi bergerak kembali ke lintasan sasaran dan tetap konsisten menurunkan defisit transaksi berjalan yang masih besar pada triwulan III 2013. Level BI Rate tersebut kemudian terus bertahan hingga Januari 2014.
Perbankan merupakan lembaga yang vital dalam mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu negara. Melalui fungsi intermediasinya, perbankan mampu menghimpun dana dari pihak yang berkelebihan dana dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan pendanaan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif di sektor riil.
Bank Indonesia (BI) Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk m8encapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Salah satu aspek yang dinilai penting dalam kegiatan intermediasi adalah tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga dipandang sebagai indikator dalam mempengaruhi keputusan masyarakat dalam membelanjakan ataupun menabungkan uangnya dan juga mempengaruhi keputusan dunia usaha dalam melakukan pinjaman untuk berbagai kepentingan seperti investasi.
Berdasarkan Laporan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter, dan Keuangan) Bank Indonesia Triwulan IV 2013 (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Documents/LKM%20Triwulan%20IV%202013.pdf, dicuplik tanggal 28 Maret 2014), Bank Indonesia pada 13 Februari 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75% setelah mengevaluasi perkembangan terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan.
Pada kebijakan suku bunga, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter lebih ketat dengan menaikkan suku bunga BI Rate. Secara kumulatif, BI Rate pada tahun 2013 meningkat 175 bps sehingga menjadi 7,50% pada Desember 2013. Pada November 2013, BI Rate meningkat 25 bps menjadi 7,50% dibandingkan dengan September 2013 guna memastikan inflasi bergerak kembali ke lintasan sasaran dan tetap konsisten menurunkan defisit transaksi berjalan yang masih besar pada triwulan III 2013. Level BI Rate tersebut kemudian terus bertahan hingga Januari 2014. Kenaikan BI Rate tertransmisi dengan baik kepada suku bunga PUAB. Suku bunga PUAB O/N (overnight) terlihat meningkat di sepanjang triwulan IV 2013 yang rata-rata tertimbang di triwulan IV 2013 tercatat 5,83%, atau naik dibandingkan triwulan III 2013 yang sebesar 5,05% seperti pada gambar 1 di bawah ini:

Pada Gambar 1 di atas, perkembangan Januari 2014 menunjukkan tren suku bunga PUAB O/N yang stabil sejalan dengan perkembangan BI Rate yang tidak berubah. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada bulan Januari 2014 tercatat stabil sebesar 5,90% dibandingkan bulan Desember 2013. Di tengah tren kenaikan suku bunga, likuiditas PUAB meningkat pada triwulan IV 2013. Dibandingkan triwulan III 2013, rata-rata tertimbang volume PUAB triwulan IV 2013 sedikit meningkat menjadi Rp. 10,5 triliun dari Rp. 10,1 triliun. Peningkatan volume PUAB pada triwulan IV 2013 antara lain didorong oleh kenaikan permintaan uang musiman di akhir tahun yang kemudian meningkatkan permintaan uang di PUAB. Perkembangan ini pada sisi lain akhirnya menurunkan rata-rata volume DF O/N menjadi Rp. 97,83 triliun dari Rp. 114,22 triliun guna memenuhi permintaan tersebut seperti pada Gambar 2 di bawah ini:

Dari Gambar 2 di atas, pada Januari 2014, rata-rata tertimbang volume PUAB total kembali turun menjadi Rp. 9,9 triliun dari Rp. 10,2 triliun, sedangkan rata-rata volume DF O/N meningkat menjadi Rp. 112,8 triliun dari Rp. 108,2 triliun, sejalan dengan kembalinya normalnya permintaan uang pasca kenaikan musiman di akhir tahun. Kenaikan BI Rate juga masih tertransmisi kepada kenaikan suku bunga perbankan, namun diikuti menurunnya spread antara suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Seiring tren kenaikan BI Rate, suku bunga kredit maupun suku bunga deposito masih meningkat pada triwulan IV 2013. Namun demikian, kenaikan suku bunga deposito tercatat lebih tinggi daripada suku bunga kredit sejalan tingginya persaingan ketat di kalangan perbankan untuk mempertahankan dana simpanan pihak ketiga. Selama triwulan IV 2013, suku bunga deposito 1 bulan naik sebesar 119 bps sedangkan suku bunga kredit naik sebesar 25 bps. Kenaikan suku bunga kredit tertinggi sebesar 33 bps terjadi pada Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi masing-masing menjadi 12,12% dan 11,82%, sedangkan suku bunga Kredit Konsumsi hanya naik 10 bps menjadi 13,13% seperti terlihat pada Gambar 3:

Berdasarkan publikasi Bank Indonesia bulan Desember 2013 (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Pages/tkm_1213.aspx, dicuplik tanggal 28 Maret 2014), Bank Indonesia menilai ekonomi global pada November 2013 cenderung membaik sesuai prakiraan, meskipun beberapa ketidakpastian perlu terus mendapat perhatian. Perekonomian negara-negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang mengindikasikan perkembangan yang positif. Perbaikan juga ditunjukkan oleh indikator ekonomi negara-negara emerging markets, seperti China dan India. Namun demikian, Bank Indonesia terus mencermati kecenderungan pergeseran pola perkembangan ekonomi global, yang ditandai melambatnya ekonomi negara berkembang dan menguatnya ekonomi negara maju, serta prakiraan berakhirnya siklus peningkatan harga komoditas dunia. Bank Indonesia juga tetap mewaspadai rencana tapering-off the Fed dan akan memperkuat respons kebijakan yang telah ditempuh selama ini. Pergeseran pola ekonomi dan keuangan global tersebut perlu dicermati karena dapat memberi tekanan kepada kinerja sektor eksternal ekonomi Indonesia, baik melalui jalur perdagangan maupun jalur finansial.
Pertumbuhan ekonomi domestik masih berada dalam tren melambat pada triwulan IV 2013. Perlambatan ekonomi terutama bersumber dari kegiatan investasi yang melemah, terutama pada investasi nonbangunan. Sementara itu, perlambatan kegiatan konsumsi diperkirakan tertahan oleh meningkatnya pengeluaran terkait persiapan pemilihan umum (pemilu) dan realisasi belanja pemerintah. Bank Indonesia menilai tren perlambatan ekonomi domestik sejalan dengan arah kebijakan stabilisasi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam membawa pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang. Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 masih dalam kisaran proyeksi sebelumnya di 5,5-5,9%. Untuk 2014, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sehingga berada pada batas bawah kisaran 5,8-6,2%. Perkiraan ini sejalan dengan proses konsolidasi ekonomi dalam merespons berbagai perkembangan ekonomi global dan domestik.
Di sisi eksternal, beberapa perkembangan mengindikasikan berlanjutnya perbaikan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2013. Perbaikan NPI ditopang oleh menyempitnya defisit transaksi berjalan seiring dengan perbaikan pada neraca perdagangan yang kembali mencatat surplus pada Oktober 2013. Selain itu, aliran masuk modal asing baik dari investasi langsung maupun investasi portofolio diperkirakan masih mencatat surplus yang meningkat sehingga memadai untuk membiayai defisit transaksi berjalan. Cadangan devisa pada akhir November 2013 sebesar 97,0 miliar dolar AS atau setara dengan 5,3 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah, di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Selain Instrumen Kebijakan BI Rate, faktor-faktor yang berasal dari makro perekonomian indonesia dan luar negeri tetap diperhitungkan pada penentuan tingkat suku bunga pinjaman di Indonesia. Inflasi dan suku bunga PUAB merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam mempengaruhi tingkat suku bunga pinjaman. Sebagai negara dengan kondisi perekonomian yang terbuka yang turut melakukan hubungan internasional, faktor – faktor luar negeri juga turut mempengaruhi pergerakan suku bunga di Indonesia seperti suku bunga luar negeri (SIBOR) dan nilai tukar.

2. ANALISIS EMPIRIS UANG BEREDAR DI INDONESIA TAHUN 2013
Pentingnya jumlah uang beredar dalam suatu fungsi produksi menjadi perhatian para peneliti dan telah ditelaah secara lebih mendalam di berbagai literatur selama dua dekade terakhir. Dasar untuk menggabungkan uang beredar dalam fungsi produksi berasal dari gagasan bahwa motif seseorang untuk memegang uang tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri. Namun uang dapat menjadi barang perantara untuk ditukarkan (dibayarkan) atas jasa yang didapat.
Tidak hanya itu, Friedman (1969) berpendapat bahwa uang harus diperlakukan sebagai masukan produktif atas modal atau tenaga kerja dalam menjelaskan fungsi uang di dalam suatu perusahaan. Di sisi lain, Harkness (1984) berpendapat bahwa jumlah uang beredar menunjukkan hubungan antara output riil dan tingkat bunga nominal di sisi penawaran agregat ekonomi. Beberapa studi terakhir telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang perbedaan motif untuk memegang uang pada individu dan perusahaan; misalnya Dennis dan Smith (1978), Simos (1981), Sephton (1986), Ambler (1989), Hasan dan Mahmud (1992), dan Mahmud (1997). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa uang beredar memegang peranan penting dalam proses produksi suatu perusahaan, oleh karena itu hasil dari penelitian tersebut menyarankan agar uang dijadikan salah satu faktor input dalam fungsi produksi. (Raditya Nugraha, Analisis Uang Beredar dalam Fungsi Produksi, Studi Empiris Negara Berkembang: Indonesia Tahun 2000:1-2013:1, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013, dicuplik tanggal 28 Maret 2014).
Solikin dan Suseno (2005: 19-20) mendefinisikan uang beredar sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta dan domestik. Ada tiga macam uang beredar di Indonesia, yaitu: (1) Uang Primer atau M0, yaitu uang tunai yang dipegang oleh masyarakat dan bank umum ditambah saldo rekening giro; (2) Uang beredar dalam arti sempit atau M1, yaitu kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik berupa uang kartal dan giral; dan (3) Uang beredar dalam arti luas atau M2, yaitu M1 ditambah dengan uang kuasi atau tagihan yang ada di bank umum seperti cek, giro atau telegraphic transfer.
Dari beberapa analisis tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka panjang jumlah uang beredar memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produktivitas sektor industri manufaktur. Hal ini dapat dilihat dari pentingnya peranan uang beredar dalam fungsi produksi yang menujukkan signifikansi dalam jangka panjang. Error Correction Term juga menunjukkan hasil koefisien negatif signifikan yang berarti di Indonesia mengalami konvergensi untuk menuju equilibrium akan lebih cepat tercapai. Ketika PDB sektor manufaktur berada di bawah titik equilibrium, maka pada kuartal pertama PDB tersebut akan menyesuaikan sebesar 12,01%. Signifikansi ini menunjukkan seberapa cepat PDB untuk menuju pada equilibrium.
Tingkat bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika tingkat harga tinggi dimana jumlah uang beredar di masyarakat banyak sehingga, konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat bunga yang tinggi. Dengan tingkat bunga yang tinggi diharapkan dapat mengurangi jumlah uang beredar sehingga permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.
Berdasarkan Laporan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter, dan Keuangan) Bank Indonesia Triwulan IV 2013 (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Documents/LKM%20Triwulan%20IV%202013.pdf, dicuplik tanggal 28 Maret 2014), kenaikan suku bunga dan permintaan domestik yang termoderasi sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia mengendalikan stabilitas ekonomi dan menekan defisit transaksi berjalan kemudian berpengaruh pada menurunnya likuiditas perekonomian. Uang beredar dalam arti sempit (M1) tumbuh melambat pada Desember 2013 menjadi 5,4% (yoy) dibandingkan pertumbuhan September 2013 yang sebesar 9,1% (yoy). Perlambatan likuiditas M1 ini dikontribusi oleh perlambatan pertumbuhan pada uang kartal dan giral sebagaimana Gambar 5:

Arah kebijakan yang ditempuh juga berpengaruh pada komponen lain dalam likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2) yakni uang kuasi. Perkembangan M2 tersebut dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang tumbuh 21,4% (yoy) melambat dibanding periode November 2013 (21,9%;yoy). Perlambatan kredit tersebut diimbangi oleh ekspansi operasi keuangan pemerintah sesuai dengan pola tahunan yang meningkat di akhir tahun.
Pertumbuhan M2 yang ditopang oleh meningkatnya pertumbuhan simpanan masyarakat di perbankan tersebut salah satunya didorong oleh kenaikan suku bunga Simpanan Berjangka 1, 3 dan 6 bulan yang mencapai 7,9%, 7,6% dan 7,5%, meningkat dibanding November 2013 yaitu sebesar 7,3% untuk jangka waktu 1 dan 3 bulan, serta 7,1% untuk jangka waktu 6 bulan. Pertumbuhan uang kuasi pada Desember 2013 tercatat 14,8% (yoy), mulai meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan Oktober 2013 sebesar 13,48% (yoy). Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan akhir triwulan III 2013 sebesar 16,05% (yoy), kenaikan pertumbuhan uang kuasi ini dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga deposito dan menurunnya kegiatan ekonomi sehingga masyarakat cenderung meningkatkan simpanan di perbankan. Namun demikian, pengaruh kuat menurunnya pertumbuhan M1 mengakibatkan pertumbuhan M2 pada Desember 2013 tercatat 12,7% (yoy), menurun dari 14,6% pada triwulan sebelumnya sebagaimana Gambar 6:

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, perlambatan M2 dipengaruhi turunnya Net Domestic Asset (NDA) di tengah naiknya Net Foreign Asset (NFA) seperti pada Gambar 7:

Dari Gambar 7 di atas, perlambatan NDA dipengaruhi melambatnya pertumbuhan kredit perbankan yang pada Desember 2013 tercatat 21,4% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan akhir triwulan IV 2013 sebesar 23,1% (yoy). Sementara itu, kenaikan pertumbuhan NFA lebih banyak dipengaruhi oleh dampak depresiasi rupiah yang menyebabkan peningkatan nilai aset-aset valas dalam rupiah. Khusus tahun 2013, pergerakan uang beredar adalah (http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/economic-indicators/amount-of-circulate-money, dicuplik 28 Maret 2014):


3. ANALISIS EMPIRIS NILAI TUKAR DAN INFLASI

Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan sektor moneter. Sektor moneter melalui kebijakan moneter digunakan untuk memecahkan berbagai masalah ekonomi meliputi investasi, produksi, dan konsumsi. Peranan uang dalam perekonomian dapat diamati dari dua sektor yang saling terkait, yaitu sektor riil (pasar barang dan jasa) dan sektor moneter (pasar uang).
Ketidakseimbangan uang beredar (excess demand for money or excess money supply) di pasar uang mempengaruhi tingkat bunga melalui interaksi pasar uang dan pasar barang ini, maka perubahan permintaan uang atau penawaran uang akan berpengaruh pada perubahan harga barang dan jasa. Kenaikan harga terus-menerus merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak terhadap daya saing barang di pasar internasional (ekspor), distribusi pendapatan dan mobilisasi dana lewat lembaga keuangan.
Inflasi merupakan opportunity cost bagi masyarakat dalam memegang aset financial. Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka makin tinggi pula opportunity cost untuk memegang aset financial, artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung jika memegang aset riil dibandingkan aset financial pada saat terjadi inflasi tinggi. Salah satu fungsi uang yaitu sebagai penyimpan kekayaan, dimana orang menempatkan uang pada lembaga keuangan yang dipercayai, bahwa uang yang ditempatkan tersebut mampu memberikan nilai lebih tinggi daripada nilai uang sebelumnya. Berdasarkan Laporan Kebijakan Moneter (Ekonomi, Moneter, dan Keuangan) Bank Indonesia Triwulan IV 2013 (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Documents/LKM%20Triwulan%20IV%202013.pdf, dicuplik tanggal 28 Maret 2014), fundamental perekonomian Indonesia yang membaik berdampak positif pada meredanya tekanan depresiasi nilai tukar rupiah di triwulan IV 2013 dan berlanjut pada Januari 2014. Nilai tukar rupiah secara point to point pada triwulan IV laporan tercatat melemah 4,85% (qtq), lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan pada triwulan III 2013 sebesar 14,29 (qtq). Memasuki bulan Januari 2014, tekanan depresiasi nilai tukar terus mereda. Pada Januari 2014, rupiah ditutup di level Rp.12.210,00 per dolar AS, melemah 0,33% dibandingkan dengan akhir Desember 2013, lebih kecil dari pelemahan pada Desember 2013 sebesar 1,71% seperti pada Gambar 9 di bawah ini:

Secara keseluruhan, perkembangan nilai tukar rupiah ini searah dengan kebijakan Bank Indonesia yang tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukarkeseluruhan, perkembangan nilai tukar rupiah ini searah dengan kebijakan Bank Indonesia yang tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya didukung berbagai upaya untuk meningkatkan pendalaman pasar valas. Dengan perkembangan nilai tukar rupiah sampai Januari 2014 maka nilai tukar rupiah secara riil dapat menopang upaya memperkuat penyesuaian sektor eksternal ke arah yang lebih seimbang. Indeks nilai tukar rupiah riil efektif (Real Effective Exchange Rate–REER dengan tahun dasar 2006) pada Januari 2014 tercatat 94,2 sehingga dapat menopang upaya meningkatkan daya saing harga ekspor Indonesia dan menopang upaya mengendalikan impor eperti pada Gambar 11:

Kenaikan daya saing tersebut juga ditopang oleh relatif terkendalinya tekanan harga setelah sempat meningkat pascakenaikan harga BBM bersubsidi pada triwulan II 2013. Dalam skala regional, REER Indonesia lebih kompetitif dibandingkan Filipina, Thailand, dan Malaysia namun kurang kompetitif dibandingkan dengan Korea. Tekanan depresiasi rupiah yang terkendali juga ditopang oleh membaiknya aktivitas pasar uang valas. Perkembangan pasar valas terkini terlihat semakin berkembang dinamis dengan volume transaksi yang meningkat dan premi risiko yang menurun. Risiko yang menurun ini tercermin pada perkembangan Credit Default Swap (CDS) yang mengalami konsolidasi seperti pada Gambar 12:

Hal tersebut tidak terlepas dari langkah-langkah Bank Indonesia untuk pendalaman pasar keuangan, termasuk swap lindung nilai dan repo antarbank dengan mini MRA. Dari segi inflasi, bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan koordinasi intensif dengan Pemerintah dapat menurunkan inflasi ke lintasan sasaran 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015. Inflasi pada triwulan IV 2013 menurun dibandingkan dengan triwulan III 2013, baik pada komponen inflasi inti, volatile food maupun administered prices. Inflasi IHK pada triwulan IV 2013 mencapai 0,75% (qtq) atau 8,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,08% (qtq) atau 8,40% (yoy) seperti pada Gambar 13:

Tekanan inflasi yang menurun disebabkan oleh berlanjutnya koreksi harga pangan, menurunnya tekanan eksternal, serta meredanya dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi. Inflasi pada Januari 2014 juga sesuai dengan pola historisnya sehingga belum mengganggu prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,5±1%.
Meskipun lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Desember 2013, inflasi Januari 2014 sebesar 1,07% (mtm) tidak berbeda jauh dibandingkan dengan rata-rata inflasi tahun 2008-2013. Kenaikan inflasi Januari 2014 terutama dipengaruhi kenaikan inflasi volatile food akibat bencana alam dan banjir yang kemudian mengganggu produksi dan distribusi pangan di berbagai daerah terutama Jawa dan Sumatera. Sementara itu, inflasi inti sedikit meningkat antara lain didorong dampak pelemahan rupiah ke beberapa kelompok barang seperti kendaraan bermotor serta alat elektronik.
Pada triwulan IV 2013, kelompok volatile food mengalami deflasi seiring membaiknya pasokan sejumlah bahan makanan. Deflasi volatile food tercatat sebesar 0,58% (qtq), jauh lebih rendah dari rata–rata historis selama lima tahun terakhir. Tren deflasi berlangsung setelah sebelumnya inflasi meningkat tinggi pada triwulan III 2013, sebesar 4,36% (qtq).
Berdasarkan komoditas, penyumbang utama deflasi pada triwulan ini adalah daging ayam, telur ayam, dan bawang merah. Koreksi daging ayam didorong oleh melimpahnya pasokan Day Old Chicken (DOC) dan kembali normalnya permintaan setelah hari raya. Sementara itu, penurunan harga bawang merah dipengaruhi oleh membaiknya pasokan sejalan dengan berlangsungnya masa panen yang sebelumnya mundur akibat anomali cuaca. Selain itu, relaksasi kebijakan pengaturan impor hortikultura turut mendorong terjadinya perbaikan pasokan seperti pada komoditas bawang putih. Deflasi pada kelompok volatile food kemudian mendorong penurunan inflasi secara tahunan yakni dari 13,94% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 11,83% (yoy) pada triwulan IV 2014 sebagaimana Gambar 14:

Pada Januari 2014, inflasi volatile food kembali meningkat akibat bencana alam dan banjir yang mengganggu produksi dan distribusi pangan. Inflasi volatile food tercatat sebesar 2,89% (mtm ) atau 11,91% (yoy). Gangguan cuaca di Indonesia serta erupsi Gunung Sinabung di Sumatera menyebabkan inflasi pada beberapa komoditas seperti beras, daging sapi, dan cabai merah. Harga daging sapi juga meningkat akibat gangguan produksi dan distribusi serta realisasi impor yang masih sangat rendah yakni sekitar 3% dari persetujuan impor triwulan I 2014. Di sisi lain, bawang merah mencatat deflasi pada bulan ini seiring dengan pasokan dalam negeri yang masih mencukupi karena masih berlangsungnya panen di beberapa daerah sentra produksi. Pada kelompok administered prices, inflasi di triwulan IV 2013 menurun tajam, seiring dengan menurunnya intensitas penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga. Inflasi administered prices di triwulan IV 2013 mencapai 1,40% (qtq) atau 16,65% (yoy) setelah triwulan sebelumnya memuncak hingga 8,94% (qtq) atau 15,47% (yoy) seperti yang tersaji pada Gambar 15:

Tekanan inflasi pada kelompok administered price pada triwulan laporan hanya bersumber dari kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) tahap IV pada November 2013 serta kenaikan Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT), khususnya LPG terkait penyesuaian tarif distribusi pada akhir tahun.
Pada bulan Januari 2014, Pemerintah menaikkan harga LPG 12 kg dengan besaran Rp 1.000,00/kg. Kenaikan harga tersebut turut menyumbang kenaikan inflasi kelompok administered prices. Sementara itu, komoditas lain yang ikut menyumbang inflasi adalah rokok kretek, rokok kretek filter, dan tarif kereta api. Tekanan inflasi inti pada triwulan IV 2014 menurun seiring meredanya dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi Inflasi inti pada tercatat sebesar 1,00% (qtq), mereda dari triwulan sebelumnya yang sebesar 2,59% (qtq) atau 4,72% (yoy). Dampak depresiasi rupiah pada periode ini masih terbatas terkait perilaku pelaku usaha yang belum sepenuhnya mentransmisikan pelemahan nilai tukar ke harga jual, karena mempertimbangkan daya beli yang melemah dan tingkat persaingan usaha yang ketat seperti terlihat pada Gambar 16:

Pada Januari 2014, inflasi inti meningkat menjadi 0,54% (mtm) atau 4,53% (yoy). Perkembangan ini dipengaruhi dampak pelemahan rupiah ke beberapa kelompok barang seperti emas perhiasan, otomotif (mobil, sepeda motor), elektronik (lemari es), dan omoditas lain dengan kandungan impor yang cukup besar (susu bubuk dan obat dengan resep). Namun, permintaan domestik mengalami moderasi sehingga tidak memberikan tekanan lanjutan ke pada inflasi inti. Tekanan inflasi inti yang tetap terkendali juga ditopang oleh ekspektasi inflasi yang masih dalam kisaran target. Hasil survei Consensus Desember 2013 menunjukkan inflasi 2014 kembali pada kisaran sasarannya seperti tersaji pada Gambar 18:

Secara spasial, peningkatan inflasi pada Januari 2014 tampak terjadi di kawasan Sumatera, Jawa, dan Jakarta serta sebagian Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti pada Gambar 20:

Berdasarkan laporan Bank Indonesia tersebut, meningkatnya tekanan inflasi di hampir seluruh daerah di kawasan Sumatera terutama disebabkan terbatasnya pasokan seiring dengan produksi yang menurun dan distribusi yang terhambat akibat kondisi cuaca yang tidak kondusif dan bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Seperti halnya di Sumatera, kenaikan inflasi di Jawa dan Jakarta juga dipengaruhi oleh pasokan yang menurun akibat produksi dan distribusi pangan yang terkendala cuaca. Sementara itu, peningkatan tekanan inflasi pangan di KTI akibat kenaikan harga komoditas ikan segar tertahan oleh koreksi harga komoditas subkelompok bumbu-bumbuan.

DAFTAR PUSTAKA
1. (http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Documents/LKM%20Triwulan%20IV%202013.pdf
2. http://www.bi.go.id/id/publikasi/kebijakan-moneter/tinjauan/Pages/tkm_1213.aspx
3. http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/economic-indicators/amount-of-circulate-money







No comments:

Post a Comment